
[ Rabu, 23 September 2009 ]
Munas Golkar untuk Bangsa
Oleh : Hutomo Mandala Putra
Bangsa ini telah sepakat memilih negara demokrasi. Sayang, dalam praktiknya, demokrasi menjadi ajang menyengsarakan rakyat. Demokrasi baru slogan semata. Sementara itu, bangsa menghadapi permasalahan serius. Di antaranya, kesemrawutan sistem ketatanegaraan.
Praktik politik kepartaian dalam sistem kenegaraan yang semrawut telah menyebabkan partai-partai dilanda krisis kepercayaan rakyat. Itu disebabkan partai-partai gagal atau tidak mampu menampung aspirasi rakyat, gagal merespons keadaan yang mendesak, serta tidak mampu menawarkan solusi buat masa depan.
Kini fenomena yang sering terlihat sungguh memprihatinkan. Yakni, berkembangnya praktik dagang sapi. Dengan demikian, partai bukan lagi sebagai kendaraan transformasi (perubahan) nasib rakyat ke arah yang lebih baik.
Campur Aduk
Di dunia ini, negara demokrasi memiliki dua model. Yakni, sistem parlementer dan sistem presidensial. Ada juga yang campuran seperti Prancis, namun penggabungannya tetap menaati asas logika kedaulatan rakyat yang tidak boleh didistorsi. Sementara Indonesia mencampur-adukkan keduanya, sampai alur logika pertanggungjawaban kedaulatan rakyat tidak jelas.
Dalam sistem parlementer, program yang "dijual" dalam kampanye pemilu adalah program partai. Program partai pemenang pemilu otomatis dijadikan program kerja pemerintah. Karena dalam pemilu yang dipilih rakyat adalah partai, maka partai pemenang pemilu yang membentuk kabinet (kecuali tidak menang mutlak yaitu 50 persen+1, maka kabinet yang dibentuk koalisi, agar dukungan suara di DPR menjadi mayoritas).
Karena itu, dalam sistem parlementer, ketua partai otomatis menjadi calon perdana menteri. Karena mandat kedaulatan rakyat diserahkan kepada partai, maka pengurus partai berhak mencopot anggota DPR di tengah jalan bila menyim*pang dari kebijakan partai.
Sebaliknya, dalam sistem presidensial, program yang ditawarkan dalam kampanye adalah program sang calon presiden (bukan program partai). Program calon presiden terpilih otomatis dijadikan program pemerintah. Karena dalam pemilu sistem presidensial rakyat langsung memilih calon presiden, maka yang membentuk kabinet adalah presiden terpilih. Karena datangnya legitimasi langsung dari rakyat, maka calon independen pun diakomodasi dalam sistem presidensial. Dalam sistem presidensial, kabinet yang dibentuk adalah kabinet ahli (zaken), bukan kabinet partai, apalagi gabungan partai warna-warni. Wajar pula dalam sistem presidensial di mana pun tidak dijumpai ketua partai dicalonkan menjadi calon presiden (kecuali di Indonesia).
Demikian pula dalam sistem perwakilan pada sistem parlementer, dalam pemilu, rakyat memilih tanda gambar partai, sehingga status anggota DPR adalah wakil partai. Sebaliknya, pada sistem presidensial, dalam pemilu, rakyat memilih tanda gambar calon anggota DPR, bukan gambar partai. Maka, anggota DPR dalam sistem presidensial adalah wakil rakyat, bukan wakil partai.
Sedangkan dari urut-urutan siklus kepemimpinan nasional, dalam sistem parlementer, anggota DPR dipilih lebih dulu, baru membentuk pemerintahan. Sebaliknya, dalam sistem presidensial, pemilihan presiden dulu, baru pemilu anggota DPR. Jadi, masing-masing model punya sejarah sendiri serta punya alasan dan logika sendiri yang tidak bisa dicampuradukkan tanpa logika.
Partai Calo Politik
Bagaimana halnya dengan di Indonesia? Demokrasi kita semrawut, tak terkecuali soal pemilu. Lihat saja pemilu legislatif yang lalu. Apa dasar bagi rakyat untuk menjatuhkan pilihan? Bila alasannya memilih program partai, sudah tentu itu bohong karena dalam sistem presidensial yang dijadikan program kerja pemerintah adalah program sang calon presiden pemenang. Dalam kampanye pemilu yang lalu, partai-partai telah mengobral janji. Bukankah itu adalah pembodohan dan pembohongan publik, namun sah secara konstitusi?
Bila alasan pemilu legislatif untuk memenuhi amanat UUD, karena diamanatkan calon presiden harus diajukan oleh partai atau gabungan partai, mari kita cermati apa yang telah terjadi pada pileg yang lalu: Siapa sosok yang dicalonkan oleh masing-masing partai? Di sini terjadi kebingungan. Beberapa partai lama mencantumkan sejumlah wajah capres yang diusungnya karena tidak mau ketinggalan bagi-bagi kekuasaan. Model arisan kekuasaan itu membuat rakyat jadi tambah bingung.
Kesimpulannya, pemilu yang kita laksanakan tak ubahnya menempatkan partai-partai sebagai calo. Sebab, dasar rakyat memilih tidak ada. Program bukan, capres bukan. Artinya, rakyat menyerahkan suaranya, tanpa dasar, kepada partai, sebagai calo politik, untuk "dagang sapi" dalam mencari capres. Maka, wajar dan sah secara hukum kalau partai-partai terlibat dalam "politik uang" untuk mendapatkan harga tawar yang tertinggi dari para calon presiden. Jadi, semacam capres dagangan saja.
Momentum Munas Golkar
Munas Partai Golkar harus menjadi momentum untuk melaksanakan perubahan yang mendasar dan komprehensif. Salah satunya adalah memformat ulang sistem kenegaraan secara keseluruhan, termasuk persoalan pemilu. Perubahan tersebut tidaklah mungkin akan datang dari tatanan yang ada saat ini.
Karena itu, diperlukan tampilnya kandidat ketum Golkar yang memenuhi lima persyaratan. Yaitu, punya solusi untuk menghentikan keterpurukan. Kedua, punya "platform" atau paradigma baru untuk mengubah sistem kenegaraan dari otoriter menjadi demokrasi. Sistem yang menjamin kedaulatan rakyat tidak menjadi mainan dan dagang sapi. Ketiga, punya keberanian lebih, termasuk berani berbuat salah sekalipun untuk menghadirkan kebenaran karena selama ini terbelenggu sistem hukum yang ada.
Keempat, punya integritas pribadi yang tinggi yang telah dibuktikan melalui proses hukum nasional maupun internasional yang berlaku. Dan kelima, sosok yang tidak bermasalah atau bagian masalah yang sedang dihadapi bangsa sehingga Partai Golkar tidak terbawa dalam keruwetan masalah pribadi yang akan menghancurkan partai. Mari kita mulai dari Partai Golkar. (*)
*). Hutomo Mandala Putra, calon Ketum Golkar pada Munas Oktober 2009, dan sepakat membangun NEGERI MERAK (MEngutamakan RAKyat)